Hari-hari Pertama yang Terasa Kabur
Pada hari-hari pertama yang terasa kabur itu, aku tidak tahu mana yang lebih dulu: menyukai buku atau menyukai membaca.
Aku tidak ingat bagaimana aku memiliki buku-buku di masa kecilku.
Apakah ibuku membelinya untukku karena mungkin menurutnya buku itu akan bermanfaat
untukku suatu hari nanti, atau aku yang memintanya karena menurutku buku itu
bagus, atau mungkin buku-buku itu pemberian orang lain?
Aku hanya ingat aku sudah memiliki beberapa sejak aku
masih kecil. Buku-buku cardboard yang hanya berisi cerita pendek atau kosakata
dengan gambar-gambar tertentu. Buku-buku yang akhirnya menjadi korban dari
kreativitas yang tidak terarah: banyak yang akhirnya kucoret-coret menggunakan pensil
lilin atau spidol. Aku ingat waktu itu ibuku mengomeliku ketika mengetahuinya. Ibuku
terlihat sangat kesal. Aku akan ikut kesal ketika ibuku begitu. Rasa kesal
ibuku terasa menjengkelkan saat itu, yang belakangan baru kupahami bahwa betapa
sia-sianya ketika buku-buku itu akhirnya rusak. Aku baru memahami ketika usiaku
sudah cukup dewasa bahwa buku-buku itu sangat bagus, dan hari-hari ini rasanya
aku tidak lagi menemukan yang seperti itu di toko buku. Seharusnya aku
merawatnya. Beberapa kali aku membicarakan hal ini dengan salah seorang teman. Dia
sudah menikah dan memiliki anak, dan menyesal karena dulu sudah merusak buku-buku
miliknya, yang seharusnya bisa dia simpan untuk anaknya.
Aku ingat aku menghabiskan beberapa tahun ketika aku suka menyisihkan uang jajanku untuk membeli komik detektif yang saat itu sedang sangat digandrungi. Di satu sisi, ibuku juga sedikit banyak membatasi pilihan yang kupunya. Tapi ibu sangat mendukungku untuk membaca Detektif Conan, karena menurutnya komik itu bisa membantuku untuk mulai berpikir kritis, menambah wawasan, dan sebagainya. Yang ibuku tidak tahu, beberapa kasus dalam komik itu tidak cocok untuk diikuti oleh anak kelas 6 SD.
Lalu aku ingat aku mulai menyukai menulis setelah beberapa waktu membaca komik. Aku suka ketika ibuku membawaku ke toko buku untuk membeli alat tulis. Aku suka mencoret-coret buku tulisku meski menurutku tulisanku sangat jelek. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha untuk membuat tulisan yang rapi, kemungkinannya sangat kecil aku bisa bertahan. Aku ingat imajinasiku sendiri terasa terlalu luas untuk kutinggali. Jadi sesekali aku mengeluarkannya dalam tulisan.
Aku ingat saat itu sedang masa liburan sekolah ketika
aku mendapat ide untuk bermain menjadi nenek sihir. Aku membuat tenda dari
kursi-kursi yang bisa kuseret ke kamarku, lalu aku menutupinya dengan selimut
besar. Hari itu aku adalah nenek sihir yang tinggal di dalam tenda di pedalaman
hutan, dengan penggaris akrilik sebagai tongkat sihirku. Hal-hal seperti ini
juga sering sekali menjadi caraku untuk “merangkul” imajinasiku agar terasa “lebih
nyata”. Meski tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi karena imajinasiku
berhubungan dengan hal-hal seperti pahlawan ninja bernama Jiraiya, anime Inuyasha,
Cardcaptor Sakura dan juga game RPG yang sangat kusuka: Harvest Moon. Kadang aku
juga berimajinasi sedang menjadi Pikachu yang akan menyengat siapapun yang
jahat padaku dengan tegangan listrik yang bisa kukeluarkan kapanpun.
Di hari-hari pertama yang terasa kabur itu, aku tidak ingat kenapa aku memutuskan untuk masuk ke
kamar kakak laki-lakiku untuk meminjam buku. Mungkin karena komik yang kupunya terlalu
tipis untuk menjadi buku mantra dalam dunia yang sedang kubuat. Aku mengambil
buku Harry Potter dari rak bukunya. Tentu saja saat itu pilihanku jatuh ke buku ke empat, seri
paling tebal yang terbit pada waktu itu. Saat itulah aku tidak sengaja membaca
isinya dan langsung jatuh cinta. Jujur saja, di masa itu film Harry Potter dan
Batu Bertuah memiliki cinematic yang buruk sehingga aku tidak tertarik untuk
melihatnya meski banyak diantara teman-teman sekelasku membahas film itu saat
jam istirahat. Jadi, begitu aku merasa tertarik setelah tidak sengaja membaca
isi bukunya (aku ingat aku langsung membuka pada bagian di saat Harry mendapat
teka-teki dari seekor Sphynx di labirin Piala Api), aku memutuskan untuk membacanya
dari seri pertama. Tentu saja aku bukan orang pertama yang terhipnotis ke dalam
dunia sihir Harry Potter. Tapi rasa senangku begitu membuncah dengan apa yang
baru kutemukan. Tentu saja hal ini menjadi makanan yang sangat baik untuk dunia
imajinasiku.
Mulai sejak saat ini aku jadi lebih banyak menulis.
Membuat dunia Harry Potter versiku. Cerita yang tidak pernah selesai karena aku
merasa banyak titik kosong yang tidak penah bisa kuisi. Pernah suatu kali aku
menyusun cerita yang lebih masuk akal, yang tidak terlalu banyak menuntut
imajinasi. Tapi aku justru berakhir membawa imajinasi itu ke dalam kehidupan
sehari-hari yang belakangan kutahu hal itu tidak baik, karena akhirnya hal itu
membingungkanku.
Di bangku SMP aku bertemu dengan seorang teman yang
kurasa memiliki banyak kecocokan denganku. Kami tertarik pada buku yang sama
dan beberapa kali bertukar buku untuk saling meminjamkan. Kami juga sering
tertarik pada film yang sama sehingga kami sering keluar untuk pergi ke bioskop.
Pada suatu masa, dia juga meluangkan banyak waktu untuk meladeniku yang
berusaha menuangkan imajinasiku ke dalam sebuah cerita, namun lagi-lagi gagal
karena banyaknya titik kosong disana sini. Aku ingat saat itu aku sedang
menyukai bajak laut dan penyihir. Jadi aku berusaha membuat cerita dimana
perang dunia terjadi karena perselisihan keduanya. Aku ingat dia memberiku
banyak sekali masukan. Kadang kami juga melakukan diskusi serius tentang
imajinasi aneh milikku. Film Pirates of Carrebian dan buku How to be a Pirate
karya Cressida Cowell memberi banyak inspirasi. Dan aku sangat kesal ketika
seorang teman meminjamnya dariku lalu menghilangkannya.
Waktu Facebook baru saja populer, aku menulis beberapa
hal menggunakan fitur catatan. Ada seorang barista yang saat itu kuidolakan karena
bukan hanya wajahnya sangat manis, tapi dia juga suka menulis. Aku membaca
beberapa tulisannya dan aku menyukainya. Meski ada juga tulisan yang pada
akhirnya membuatku patah hati karena dia menulis tentang seorang gadis yang ia
sukai. Hal-hal yang kutulis hanya hal sepele. Puisi amatiran, surat untuk
teman-temanku, dan cerita pendek. Tapi setidaknya, aku menyelesaikan hal-hal ini. Dan
aku juga mendapat bonus karena beberapa temanku menyukainya. Beberapa yang lain
juga membubuhkan komentar mereka disana.
Sudah lama sekali aku ingin menulis sebuah Blog, tapi
aku tidak tahu konten seperti apa yang ingin kutulis.
Aku sempat menjadikannya wadah untuk mengungkapkan semua uneg-uneg yang
kupunya. Kebanyakan tentang mantan pacar yang belum bisa kulepaskan. Hubungan kami
cukup rumit selama kami bersama, dan menjadi lebih rumit lagi ketika kami berpisah. Aku
akhirnya menghapus semua tulisanku disana karena pacar barunya menemukan
blogku, dan terjadi pertengkaran hebat antara dia dan pacarnya, dan juga aku
dan dia.
Waktu kuliah, aku akhirnya melakukannya dengan lebih
baik. Beberapa orang teman angkatanku memiliki Blog dan mereka memberiku inspirasi yang
baik untuk memanfaatkan milikku. Akhirnya aku membuat tulisan-tulisan tentang beberapa hal yang ingin kuabadikan seperti perjalanan liburan, atau beberapa
pemikiran yang sekelebat lewat tapi ingin kutulis. Selama beberapa waktu hal
ini menjadi suatu rutinitas yang menyenangkan. Kebetulan juga lingkunganku cukup
mendukung. Aku senang saat ada yang memanggilku ketika mereka berpapasan
denganku di kampus, hanya untuk berkomentar tentang tulisanku pada malam
sebelumnya. Meski itu hanya olok-olok, meski itu hanya sekedar “ciye ciye”.
Kebiasaan membacaku belum berakhir. Aku menghabiskan
masa SMA untuk membaca cerita-cerita teenlit populer, meminjam buku teman di sekolah.
Saat kuliah, banyak sekali metode dan teori yang harus kami pelajari di kelas. Sehingga
aku juga melahap buku-buku kuliahku dengan baik. Ada seorang teman yang
membahas teori-teori itu di blognya, tapi aku tidak mengikuti jejaknya karena
menurutku hal itu membosankan. Konten blog memang akan menjadi lebih baik dan
bermanfaat saat bisa membantu dalam mendapatkan informasi, tapi entah kenapa
aku merasa membahas teori yang kami pelajari akan terasa terlalu serius untuk
dilakukan diluar kelas. Pernah suatu ketika aku membaca sebuah buku biografi
tokoh sejarah. Aku pernah mendengar namanya beberapa kali, hanya saja tidak di
dalam kelas. Sepanjang masa sekolahku, aku tidak pernah menjadi murid pintar. Aku kebetulan hanya murid dengan kecerdasan rata-rata yang seringnya memilih untuk asik sendiri dengan dunianya daripada mengikuti apapun yang terjadi di kelas. Tapi sejauh yang pernah aku ingat, tokoh ini tidak pernah disebut sama sekali dalam pelajaranku. Buku biografinya sangat bagus, bahkan aku merasa aku jatuh cinta
pada orang yang sedang diceritakan dalam buku. Lalu aku pernah mencoba mencari
buku lain yang berkaitan dengannya. Ada sebuah buku yang judulnya cukup provokatif.
Dan ketika aku menyebutnya di blogku, orang-orang berkomentar kurang
menyenangkan.
Tidak lama setelah itu, aku masih menulis blogku, tapi mulai menghadapi banyak masalah lain. Selain kelas kami yang semakin suit diikuti dengan berbagai tugas kelompok dan individu, hal lainnya adalah ketika aku mulai berkencan dengan orang baru dan ada banyak hal yang akhirnya membuat kami berselisih paham, termasuk beberapa tulisanku di blog. Jadi sekali lagi aku mengakhiri blogku, untuk alasan yang menurutku jauh lebih buruk.
Jika ada masa pada hari-hari yang terasa kabur dimana aku mengalami hilangnya semangat membaca dan menulis, aku bisa mengatakan saat-saat itu adalah waktunya. Selama bertahun-tahun, buku yang kubaca tidak lebih dari 10 buku, dan lagi-lagi aku harus menghentikan beberapa proyek menulis berikutnya. Semangatku mengalami pasang dan surut yang lebih parah dari sebelumnya. Sampai akhirnya beberapa waktu ini aku mulai merindukannya, dan semakin aku membiarkannya, rasa rinduku semakin besar. Sejauh ini aku sudah berhasil memulai lagi kebiasaan membaca secara teratur, meski aku belum berhasil untuk menulis secara teratur. Mengingat panjangnya daftar to-be-read yang kumiliki, aku merasa beruntung ketika pada akhirnya aku membulatkan tekad untuk memasang target membaca untuk diri sendiri, aku bertemu seseorang yang memberikan dorongan melalui sebuah program tantangan membaca. Aku berusaha mencari alternatif yang mirip untuk mendorongku menulis, tapi tidak ada hasil yang berarti.
Pagi ini, setelah menyelesaikan beberapa hal, aku duduk termenung di depan laptopku dan seperti beberapa bulan terakhir, pikiranku melayang pada blogku. Aku ingin memulainya lagi dari suatu titik, tapi tidak ada titik awal yang terasa menarik bagiku. Tapi kurasa semua hal akan selalu tiba pada waktunya. Pagi tadi aku masih bingung bagaimana memulai semua ini, dan tahu-tahu saja aku melewatkan sisa hari untuk menulis tiga halaman, bercerita tentang bagaimana semua ini dimulai.
0 comment(s)